Sebuah Warna


Aku ingat, semua berawal dari kejadian itu, 13 Agustus sepuluh tahun yang lalu…
Angin membelai wajahku dengan lembut, seolah ingin aku mengurungkan niatku. Dari sini aku menatap Kota Lama, tempat perantauanku. Kota ini berada di daerah dataran tinggi yang memiliki hawa sejuk. Memang sudah disebut kota, akan tetapi, tempat termodern di kota ini adalah restoran cepat saji yang berada di belakang gedung tempatku berdiri. Aku berdiri di puncak sebuah gedung perkantoran berlantai empat, gedung tertinggi di kota ini.
Oh ya, bukan hanya di puncak, aku berdiri di pinggir-puncak gedung, memandang jauh kota yang masih bisa dibilang asri ini. Aku menarik napas dalam-dalam, bersiap melakukan hal terakhir dalam hidupku. Hal terakhir yang akan mengakhiri hidupku yang menyedihkan ini. Namun, sebelum aku sempat melakukan apapun, lagi-lagi aku mendengar lagu itu. Menghentikan hal yang akan kulakukan. Entah seseorang memutar lagu itu atau hanya terngiang di telingaku.
“Hey!” suara serak memekakkan meneriakiku dari bawah. Aku menunduk untuk melihat makhluk yang meneriakiku. “Ngapain di situ?” logat Bataknya terdengar kental. Dari puncak gedung ini, sulit untuk melihat sosok itu secara detail. Yang aku tahu, suaranya serak menggelegar dan badannya kekar tinggi.
“Nggak, Bang. Cuma lihat-lihat pemandangan,” ujarku.
“Apa?” si Kekar kembali berteriak. Aku mengutuk dalam hati, beraninya dia berteriak-teriak kepada orang yang berniat bunuh diri. Sempat terbersit di pikiranku untuk meloncat langsung ke arahnya, namun urung.
“LIHAT-LIHAT PEMANDANGAN BANG! PEMANDANGAN!” aku balas berteriak.
“OH! BETA KIRA ANTUM MAU BUNUH DIRI!” Aku melongo. Sepertinya si Kekar ini keturunan Arab-Ambon yang sudah lama tersesat di Sumut.
“NGGAK KOK BANG!” aku meyakinkannya.
“YA UDAH, BETA PERGI DULU! ANTUM BAIK-BAIK YA!” dengan ucapan itu, si Kekar pun berlalu.
Aku menghela napas. Dari arah belakang, ku dengar tawa cekikikan yang familiar. Aku menoleh. Yap, dia di sana. Pemuda kurus tinggi yang sepantaran denganku, mengenakan pakaian favoritnya, jaket kain putih polos di atas seragam sekolah. “Konyol,” sindirnya.
“Apa? Memangnya kau punya ide yang lebih baik?” tanyaku kesal.
“Tentu, apa saja selain ini,” ujarnya santai seraya merentangkan tangan.
“Kau sungguh-sungguh tidak tahu seberapa berat bebanku,” aku menatapnya marah.
“Kau bercanda? Apa yang kau tanggung sekarang belum tergolong beban. Kau hanya melebih-lebihkan,”
“Kau tahu apa?” pemuda ini benar-benar membuatku kesal, dia sama sekali tidak membantu. Dia telah merusak moodku.
“Semuanya,” dia tersenyum. Senyumnya tulus, tapi aku tidak tahan lagi. Aku berharap bisa memukul wajahnya, namun aku lebih memilih undur diri dan ke luar dari gedung itu.
Keesokan harinya di sekolah, saat istirahat, aku menghidupkan MP3. Bolehkah membawa MP3 ke sekolah? Aku tak peduli. Aku memutar lagu yang kemarin menggagalkan rencanaku. Lagu lawas yang dilantunkan oleh Louis Armstrong. “Kau tidak jadi mati?” suara itu memecah suasana santaiku. Ya, orang yang gagal bunuh diri juga boleh bersantai. Aku menoleh, ku temukan pemuda bertampang menyebalkan yang satu lagi, duduk di sebelahku. Perawakannya sama seperti pemuda kemarin, tetapi wajahnya lebih suram, dan jaketnya hitam. Mereka berdua adalah kembaran yang menjengkelkan.
“Tak bisakah kalian berdua berhenti menggangguku?” ujarku tak peduli.
“Tidak,” dia tersenyum, berbeda dengan kembarannya, senyum pemuda yang satu ini menyeramkan.
Seolah-olah dia sudah menyarankan bunuh diri kepada ratusan pelajar depresi lain.
Aku berusaha mengalihkan perhatianku dari pemuda itu. Memandang papan tulis kelas yang berisi rumus-rumus fisika, membuat ingatanku kembali ke masa lalu, masa-masa ketika aku belum memiliki masalah apapun. Enam tahun masa SD yang ceria, dan tiga tahun masa SMP yang membosankan. Yah, tentu saja aku memiliki masalah di masa-masa itu, namun tidak sepelik sekarang. Aku dibesarkan di keluarga sederhana, satu-satunya laki-laki dari empat bersaudara. Akibatnya, aku tidak dapat bermanja-manja. Ayahku membesarkanku untuk menjadi penggantinya nanti, menjadi penjaga keluarga. Hasilnya, aku tumbuh menjadi pribadi unggul, atau itulah yang aku perlihatkan kepada orang-orang. Didikan khusus dan sifat asliku  malah memunculkan sesuatu yang lain, aku terlatih menjadi manusia bermuka dua.
Saat SD, aku bahkan sudah mengerti bahwa kebanyakan manusia itu munafik. Bahkan, aku bisa menipu mereka dengan berpura-pura menjadi anak polos yang pintar dan rajin. Pintar. Ya, aku bersyukur terlahir pintar. Hal pertama yang ku ingat dan ku mengerti adalah psikologi dan manusia. Memanipulasi kedua hal ini memberikanku kesenangan tersendiri. Namun, aku memiliki kekurangan terbesar, aku kesulitan untuk belajar di luar keinginanku. Kebanyakan pelajaran di sekolah hanya tertinggal di sekolah, dan saat ini, aku tidak dapat mengingat satu pun hal yang ku pelajari saat SD. Ini adalah sumber terbesar masalah-masalahku.
SMP, aku tersedot dunia teknologi. Menjadikan diriku tertutup dari dunia luar. Akibatnya, hidupku menjadi membosankan dan tanpa masalah. Satu-satunya masalah adalah sosialisasi dengan manusia lain. Masa SMA,  aku masuk ke SMA yang unggul prestasi dan karakter. Kondisi memaksaku untuk beradaptasi dan menjadikanku pribadi yang lebih baik. Atau setidaknya, lebih baik bagi orang lain. Dan di sinilah, Ketua Organisasi Sekolah mempercayaiku untuk menjadi anggotanya di kelas sepuluh.
“Sudahlah, Go, rencana besarnya baru saja gagal,” si Jaket Putih muncul entah dari mana dengan senyum menyindir. Dia memang suka menyindir. Menyebalkan.
“Kau juga mengganggunya, Ka,” Go juga tersenyum. Melihat mereka berdua kompak tersenyum membuatku semakin risih. Aku lebih memilih mendengar lagu favorit Ibuku dan meresapi maknanya. And I think to myself, what a wonderful world.
Bel jam terakhir telah mengakhiri kegiatan para siswa pada pukul empat, sepuluh menit lalu. Pelajaran terakhir kelasku adalah olahraga, jadi kami melanjutkan bermain basket three-on-three. Sampai kapan? Sampai lelah. Rupanya tak ada satu orang pun yang menyadari rencanaku kemarin. Aku bersyukur. Karena jika ada yang tahu, mungkin aku sudah ditanya-tanya dan dinasihati. Juga, aku bisa berolahraga dengan tenang. Aku suka olahraga, berkonsentrasi penuh dan bergerak cepat. Itu semua membuatku melupakan masalah jenis apapun. Akan tetapi, dalam permainan yang sedang berlangsung, aku tak begitu all out. Aku menjaga agar pemain lain tak terluka fisik dan mental karena permainanku.
“Lihat pahlawan kita, dia bermain dengan hati-hati dan menjaga perasaan lawannya. Manis sekali,” suara menyebalkan itu muncul lagi.
“Hentikan, dia bermain dengan anggun,” suara lain menyanggah. Bagus, batinku. Mereka ada di sini, keduanya. Aku menoleh ke arah suara tersebut. Benar saja, mereka berdua duduk dengan manis di bawah ring, mengamatiku. Gerakanku terhenti, ingin rasanya aku melempar mereka dengan bola yang saat ini berada dalam kuasaku.
“Tom!” seseorang meneriakkan namaku tepat sebelum sesosok tangan lincah menyambar dan mengambil bola dari tanganku. Aku lengah.
Sang pemilik tangan berlari dan menghindar dengan cepat, menuju wilayah three-point dan mencetak angka dengan indah. “Kau lengah, Tom,” ujar sosok itu, seolah aku perlu diberi tahu. Dia tersenyum sumringah, memamerkan deretan giginya yang putih. Ditambah kulitnya yang hitam, giginya terlihat semakin putih. Dia adalah Sandy, pemain basket ternama dari kelasku.
“Maaf, maaf. Kau mau coba lagi?” tanyaku.
“Siapa takut,” balasnya. Saat ini rasa kesalku memuncak. Aku akan bermain all out, mengikuti kata Go.
Malamnya, aku terkapar di kamar kosku dan tak sanggup bergerak sedikit pun. Permainan tadi sore dimenangkan oleh timku dengan selisih tipis. Timku berhasil membuat Sandy kewalahan dan dengan berbekal tekad dan semangat, kami menang. Walaupun aku harus pulang dengan sejumlah luka. Aku kelelahan namun bahagia. Aku telah membuktikan diri bahwa aku juga bisa menunjukkan sisi lain dari diriku. Belum lama aku menikmati saat-saat kemenangan, ingatanku memberitahu bahwa ada setumpuk tugas dan ulangan untuk esok hari. Aku mengutuk diri, aku bahkan juga belum mencuci seragam untuk besok.
“Kau lihat? Kalau tadi kau tidak mengiyakan ajakan bermain basket hingga sore, kau akan punya banyak waktu untuk dirimu sendiri,” Go memasuki kamarku.
“Toh kau hanya menyanggupi demi sopan santun.”
Aku tak menjawab, Go ada benarnya. “Sudahlah, dia melakukan hal yang benar. Kau pada awalnya memang ingin bermain juga kan?” Ka kali ini angkat bicara.
Akan dimulai, debat dua saudara ini akan dimulai. Tak ada pilihan lain, aku memejamkan mata, berusaha menikmatinya.
“Kau tidur Tom? Sebaiknya kau cuci dulu bajumu,” suara Ka menyuruhku.
“Kali ini aku setuju,” Go mengiyakan. Dengan satu tarikan napas berat, aku membuka mata dan mencoba untuk duduk. Rasa nyeri menjalari sekujur tubuhku.
“Biar ku ingatkan kau Tom, kau terlalu baik. Mungkin kau menyanggah bahwa kebaikan itu hanya pribadimu yang lain, topengmu,” Go memulai. “Tapi tak sadarkah kau bahwa topeng itu sudah melekat di wajahmu dan  menjadi wajah aslimu saat ini?” aku berdiri melawan rasa nyeri, menuju kotak P3K di atas lemari.
“Kau hanya membohongi dirimu sendiri, Tom, kau adalah orang baik seutuhnya,” Go melanjutkan.
“Apa salahnya menjadi orang baik?” Ka angkat bicara. Aku mengoleskan obat pereda rasa nyeri nyaris ke seluruh persendianku. “Dia membuat orang lain bahagia. Jika seluruh orang di dunia seperti dia, dunia akan bahagia!” senyum tulus Ka mengembang di bibirnya.
“Bodoh,” Go membantah dengan ketus. “Apa gunanya jika orang lain bahagia tetapi kau sendiri sengsara? Tom, kau tidak hidup untuk membahagiakan seluruh orang di muka bumi. Karena kau mencoba untuk itu, kau melupakan kebahagiaanmu, inilah yang kau sebut masalahmu kan? Kau benar-benar terlalu baik, Tom,” aku yang sedang mengisi ember cucian dengan air dan deterjen hanya manggut-manggut.
“Menjadi baik itu bukan masalah, namun terlalu baik…” Go menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku mengaduk-aduk cucian. Selama ini aku lebih memilih untuk setuju dengan Ka, untuk diam dan mengorbankan keinginanku. Simpel memang, namun inilah sebabnya aku berharap tak pernah dilahirkan. Melihat bagaimana manusia yang rela berkorban tak dihargai dan hanya terlupakan, sementara yang rakus terekam oleh sejarah dan diingat sepanjang masa. Ketika yang baik mengalah, mereka yang licik menginjak-injak harga diri mereka. Aku merasakan dunia ini sudah membusuk hingga ke akar-akarnya. Karena itu, aku ingin kabur dari semua ini. Dari segala hal yang memuakkan ini.
Merasa cukup mendengar ceramah Go, aku memutuskan untuk berjalan-jalan ke luar barang sebentar. Berharap angin malam dapat meredakan galauku. Aku meraih jaket favoritku dan MP3, lantas meninggalkan Go dan Ka di kamar kosku. Aku menyusuri trotoar di sepanjang kompleks pertokoan. Tidak banyak toko yang masih buka, itu pun sudah bersiap-siap menyimpan dagangan mereka. Aku memutar lagu itu lagi, lagu yang kemarin menyelamatkanku. Aku merenung, lagu ini menceritakan bahwa hidup tidak hanya hitam dan putih, tetapi masih banyak warna lain. Akankah aku juga dapat menemukan warna lain itu? Entahlah.
Beberapa langkah kemudian aku melihat siluet ganjil. Beberapa orang berdiri dan satu orang duduk bersandar dengan kedua tangan terangkat, seperti hendak menghalau sesuatu. Aku tahu persis adegan ini, dan aku mencoba untuk tak peduli. Akan tetapi, hatiku berkata lain. Lagu yang terus mendayu di telingaku seakan memintaku untuk menjadi warna bagi orang lain. Benar juga, bukankah mereka bilang aku harus menjadi warna yang ingin ku lihat di dunia ini? Aku memberanikan diri melangkah ke tempat kejadian.
Beberapa meter dari sana, sosok-sosok itu terlihat dengan jelas. Mereka adalah teman-teman SMA-ku, dan masih berseragam. Tiga yang berdiri berwajah seram dan awut-awutan. Sedangkan yang terduduk berwajah  cemas dan berkeringat dingin. Aku telah bersiap akan skenario terburuk malam ini: aku mencoba menolong -diplomasi gagal- orang yang ku tolong melarikan diri -aku digebuki sampai hancur. Walaupun begitu, aku ingin melihat warna itu.
“Maaf, ada apa ini?” tanyaku sopan.
“Bukan urusanmu,” si Seram nomor satu menjawab bengis.
“Me-mereka memaksaku untuk menyerahkan semua ta-tabunganku,” si Cemas menjawab terbata-bata.
“Begitu?” aku mencoba untuk tetap tenang. “Kau tahu, kita berasal dari SMA yang sama, maka kenapa kita saling memalaki?” aku mencoba sok bijak. “Akan lebih baik jika kita saling membantu dan– ”
“Halah!” si Seram nomor dua menyela kasar, menarik kerah bajuku.
“Kau tahu? Kami sudah pernah menghajar ustad! Kau bukan apa-apa,” aku menelan ludah. Ini dia, diplomasi gagal.
Dalam sekejap mata, suara hantaman terdengar diiringi dengungan panjang. Aku terhuyung-huyung ke belakang, mencoba tetap berdiri. Si Cemas sudah berdiri, mungkin dia sudah bersiap kabur.
Ku perhatikan wajahnya, rautnya masih cemas, akan tetapi, matanya berbinar dan bibirnya tersenyum. Aku bersyukur dia masih di sampingku, rasanya seperti menemukan harapan, seperti menemukan… warna baru. “Aku tak akan kabur,” ujarnya memperhatikan ekspresiku. “Berkatmu aku peroleh yang aku cari, sekarang giliranku membantumu,” dia menyunggingkan senyum gila. Aku mengangguk. Kami menghadap para penindas, berhitung dalam hati. Dalam satu gerakan serempak, kami menerjang.
Senja, 13 September tahun sekarang.
Aku menutup telepon. Itu dari pemborong terakhir hari ini. Usaha mebelku akhir-akhir ini laku keras. Aku menatap foto itu, foto yang menambatkanku ke kenangan sepuluh tahun lalu. Foto yang mengingatkanku akan sebuah warna. Bukan hanya hitam dan putih, seperti saudara kembar itu. Yang sejatinya adalah Ego dan Etika, mereka selalu bertengkar di dalam kepalaku. Namun sekarang, aku berdamai dengan mereka dan  menambahkan warna-warna baru dalam hidupku.
Cerpen Karangan: Taris Hibatul Haqqi
Facebook           :Taris Hibatul Haqqi

0 Response to "Sebuah Warna"

Posting Komentar