‘Brak!’ Rayhan terjatuh di tumpukan kardus, ia baru saja melompat dari atas lemari.
“Sial! Aku nggak lihat tangga itu.” Gumamnya. Ia memang harus membuka eternit di kamar ayahnya yang memang sengaja diset untuk bisa dibuka. Kemudian ia melompat ke sebuah ruangan sempit 1×5 meter yang lebih mirip gudang. Disana ada sebuah lemari yang entah apa fungsinya berada disana, tapi kali ini berfungsi untuk pijakan Rayhan agar jarak terjun tidak terlalu tinggi untuk bisa mematahkan kaki. Ruangan itu berada di sela-sela antara kamar Rayhan dan ayahnya. Tidak ada pintu sama sekali, hanya itu satu-satunya cara untuk masuk. Orang tidak akan mengira disana ada ruang rahasia, dan tidak ada yang sadar bahwa panjang kamar Rayhan ditambah kamar ayahnya lebih sempit satu meter jika dibanding dengan mengukurnya dari luar. Tapi rahasia yang sebenarnya adalah sebuah ruang bawah tanah yang digunakan sebagai laboratorium pribadi ayah Rayhan yang bahkan lebih dulu dibangun daripada rumahnya. Rayhan tidak pernah mengunjunginya, walaupun ia tau lokasi ruangan itu, karena ia memang tidak tertarik dengan apa yang dikerjakan ayahnya, kecuali kali ini.
“Sejak kapan tumpukan kardus ini ada disini?” Rayhan menendang-nendang kardus yang berserakan di lantai. Kemudian ia menggeser sebuah rak kecil dan menyingkirkan karpet di bawahnya, lalu mencongkel sebuah lantai kayu yang tertutup karpet.
“Ternyata disini.” Tampak sebuah anak tangga disana, ia pun masuk ke dalam setelah menyalakan saklar. Ia harus menundukan kepalanya untuk menuruni anak tangga pertamanya agar kepalanya tidak terbentur kayu.
“Luar biasa, aku bisa bermain futsal disini, dan apa itu?!” Pandangannya tertuju pada benda besar yang ditutupi kain berwarna hitam. Ia pun menghampirinya, lalu menarik kain yang menutupinya.
“Jangan disentuh!” Rayhan membaca secarik kertas yang terletak di atas benda itu. Ia tidak mengerti kenapa ada kertas peringatan disini, bukankah yang masuk ruangan ini hanya ayah Rayhan, atau mungkin ayahnya membuatnya untuk menyadarkan dirinya saat ia khilaf? Atau jangan-jangan ia tau bahwa Rayhan akan masuk kesini suatu saat nanti. Ya, yang terakhir memang agak masuk akal. Tapi Rayhan tidak mempedulikannya.
“Inikah mesin waktu itu?” ia merasa sangat penasaran. Benda itu memiliki monitor 14 inci. Lalu terdapat beberapa tombol yang berbentuk kotak-kotak. Benda itu masih belum sempurna nampaknya. Kerangka bagian dalamnya masih terlihat dan belum terbungkus rapi.
Rayhan mengambil sebuah benda berbentuk lingkaran yang terbuat dari platina dengan sesuatu mirip dua buah antena yang terpasang di lingkaran tersebut. Ia lalu memasangnya di bagian rumpang benda yang disebutnya mesin waktu itu. Ia menarik tuas yang terpasang di sebelah kanan mesin itu. Lampu-lampu tombol menyala dan terdengar deru kasar mesin tersebut.
Lingkaran platina menimbulkan aliran listrik kejut yang menyambar-nyambar kecil sebelum akhirnya berhenti stabil. Lubang pada platina yang berwana ungu tampak menyilaukan. Rayhan melompat ke belakang karena terkejut.
“Apa yang harus aku lakukan?” Rayhan kebingungan, lalu ia melihat ke arah sofa. Terdapat dua buah bola tenis yang mungkin milik ayahnya. Ia mengambil salah satu dan melemparkannya ke arah lubang itu.
‘pluk’ bola itu hilang bagai ditelan lubang misterius itu. Rayhan melongok ke belakang mesin mencari-cari bola tersebut sampai akhirnya ia yakin bola itu hilang ditelan lubang itu. Rayhan mencoba memasukkan tangannya ke dalam lubang itu, tetapi malah seluruh tubuhnya tertarik oleh sesuatu dalam lubang itu.
—
“Apa yang terjadi?” Rayhan memegangi kepalanya, ia merasa pusing. Sepertinya kepalanya membentur sesuatu. Rupanya ia baru saja pingsan. Ia merapikan pakaiannya hingga ia sadar tubuhnya penuh butiran-butiran es.
“Dari mana es ini? Oiya tadi aku memasuki lubang itu, dan merasa sangat kedinginan.” Ia segera bangkit untuk melihat kalender pada komputer ayahnya yang dilihatnya menyala. Ini dua hari yang lalu.
“Ini dua hari yang lalu! Wow! Woooooowww!!!.” Rayhan nampak mencari-cari sesuatu. Lubang itu! Lubang waktunya telah hilang.
“Bagaimana ini!” ia mulai teringat perkataan ayahnya. Jika lubang itu memang bisa hilang sewaktu-waktu.
‘Bett’ lampu ruangan tiba-tiba mati, disusul komputer yang juga ikut mati.
“Pasti sekarang ayah sedang mematikan sekering rumah.” ia bergumam sendiri.
“Ah! Iya! Tantri!” Rayhan berlari sekuat tenaga keluar dari ruangan itu. Ia menatap ke arah jam dinding. Pukul 10.30!
“Kejadian itu satu jam lagi! Aku harus cepat!” ia hampir menginjak bola tenis yang tadi dilemparnya. Kemudian ia memungut dan melemparnya ke sofa. Bola tenis itu menggelinding menuju bola tenis yang lain. Kini ada dua buah bola tenis yang sangat persis di atas sofa.
Hari ini adalah hari yang tidak akan pernah ia lupakan, ia mengalami hari ini dua kali. Bahkan ia sempat melihat dirinya dua hari yang lalu. Cukup gila juga.
“Aku harus mencegah Tantri agar tidak keluar dari rumahnya walau semeter pun!” ia berlari menuju rumah Tantri. Keringat mengucur deras di wajahnya. Perasaan takut menghinggapinya, ini adalah pertaruhan hidup dan mati.
“Tantri baru saja pergi nak Rayhan. Dia bilang mau ke toko jam.” Deg! Jantung Rayhan rasanya mau copot, ia terlambat, tapi belum sepenuhnya. Ia pun menuju ke toko jam yang ditunjukan ibu Tantri. Di perjalanan, matanya tidak luput sedikit pun memandangi orang-orang yang berkeliaran. Beberapa kali ia mengira orang lain sebagai Tantri, bahkan sempat memanggilnya. Namun akhirnya ia kembali dengan wajah kecewa dan malu.
Rayhan tidak berhasil menemukan Tantri di toko yang ditunjukkan ibu Tantri. Rayhan memandang sekeliling lekat-lekat, berharap dapat melihatnya lagi.
“Permisi, apa anda lihat cewek ini? Mungkin tadi dia membeli sesuatu disini?” Rayhan menunjukan foto Tantri yang ada di ponselnya kepada salah satu pegawai toko. Di foto itu terdapat gambar Tantri menggunakan jaket tebal dan sedang tersenyum. Di sampingnya gambar Rayhan yang sedang menunjukan ekspresi ogah-ogahan di foto.
“Tidak.” Jawaban singkat yang telak. Rayhan langsung melangkah keluar. Ia berjalan di emperan toko dengan wajah yang lelah dan pasrah. Ia melihat seseorang di seberang jalan yang mirip sekali dengan Tantri, dari cara berjalan, dan rambutnya yang terurai halus. Tapi hati kecilnya mengatakan bahwa itu hanya imajinasinya saja. Ia hanya melihatnya, melihat gadis itu. Nampak gadis itu mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya dan hendak menelepon seseorang.
“Sial! Kayanya aku udah gila! Sekarang dia semakin nyata saja!”
‘kriiiing kriiing’
“Tantrii! Kamu dimana sih! Aku cari kamu dari tadi!” ia berteriak sangat keras di depan ponselnya sampai-sampai setiap orang di dekatnya memperhatikannya. Tak terkecuali gadis itu, gadis di seberang jalan yang disangka Rayhan adalah Tantri.
“Rayhan!” tiba-tiba gadis itu memanggilnya. Itu Tantri.
“Tan!” Rayhan tersenyum melihatnya. Beberapa tetes air mata menghiasi wajah tampan Rayhan.
“Rayhan!” tantri memanggilnya lagi sambil melambaikan tanganya pada Rayhan. Dia tersenyum, tapi wajahnya tampak sedih. Rayhan membalas senyumanya Tantri segera berlari menghampiri Rayhan. Wajahnya nampak lelah, tapi ia terus berlari.
“Tantri awas!” Rayhan berteriak sesaat sebelum sebuah mobil pick up yang sedang melaju kencang menabraknya dari samping. Tantri bahkan tidak sempat berteriak. Tubuhnya terseret hingga 10 meter, kemudian terpental ke pinggiran jalan. Mobil itu langsung meluncur meninggalkanya. Sebuah tabrak lari! Rayhan berlari sekuat tenaga ke arah Tantri. Orang-orang mengerumuninya. Tantri tergeletak dengan darah mengucur dari pelipisnya. Rayhan mengganjal kepala Tantri dengan tanganya. Ia menggengam tangan Tantri, air matanya berbaur dalam darah. Bau anyir darah merasuk dalam tubuh setiap orang yang menghirupnya. Kejadian yang sangat mengerikan, yang bisa membuat kejiwaan seseorang terganggu. Terlebih Rayhan, dengan semua yang telah dialaminya, dan perasaannya. Jika dia bukan Rayhan, mungkin ia tidak akan bisa menghadapi tekanan mental tersebut.
“Tantri, sadarlah! Aku akan menolongmu! Percaya sama aku. Tetap buka matamu.” Rayhan mencoba menguatkan Tantri, ia mencoba menahan Tantri agar kesadarannya tetap terjaga, dan tetap bersamanya.
“Han..” Suara tantri terdengar lirih.
“Han, maafin aku.” Tantri mencengkram tangan Rayhan. Darah dari kepala Tantri makin banyak. Rayhan memalingkan wajahnya sambil menutup mata. Ia tidak kuat melihat pemandangan itu.
“Bertahanlah! Aku mohon, tan.” Isak tangis Rayhan sesengukan.
“Aku nggak papa.” Tantri tersenyum tipis.
“Aku tau! Aku tau! Aku akan bawa kamu ke rumah sakit! Kamu bakal sembuh! Kita bakal sama-sama lagi kaya dulu.” Rayhan mencoba meyakinkan Tantri, juga dirinya sendiri.
“Aku…” tantri tidak melanjutkan percakapanya.
“Tantri! Aku cinta kamu! Bertahanlah!” Rayhan segera membopong Tantri lalu menyetop sebuah taksi yang lewat di hadapanya. Ia membawanya ke rumah sakit terdekat.
—
“Permisi, anda harus mengisi data administrasi di sebelah sana.” Sapa seorang suster sambil menujuk ke bagian administratif.
“Maaf, saya bukan keluarganya, saya hanya menolong gadis itu, saya menemukan ponsel milik gadis itu. Dan tampaknya gadis itu sering menghubungi nomer ini, mungkin dia anggota keluarganya.” Ujar Rayhan sambil menunjukan nomer handponenya sendiri pada suster itu.
Rayhan berjalan melewati jasad Tantri, air matanya berlinang. Lalu ia berjalan menjauh, ia sempat merogoh saku celananya dan mematikan ponselnya.
“Maafkan aku.” Rayhan terus berjalan meninggalkan ruangan itu.
Rayhan telah gagal, kini dia tahu, dia tidak merubah apapun. Tantri telah meninggalkannya, bahkan mungkin dia yang menyebabkan Tantri meninggal. Rayhan melangkah pergi dengan pikiran kosong.
“Tan, bodoh banget si kamu! Begooo!” ia melihat dirinya sendiri dua hari yang lalu sedang mengumpat. Mereka berpapasan dan hanya berjarak sepuluh senti. Ia ingat betapa khawatirnya ia saat itu.
“Rayhan!” ia nampak terburu-buru berbalik dan hendak menghampiri dirinya dua hari yang lalu. Ia hendak mengatakan bahwa penyebab kematian Tantri adalah dirinya, Rayhan. Ia hendak mencegah dirinya sendiri untuk melakukan perjalanan waktu dan menyelamatkan Tantri karena justru itulah yang menyebabkan Tantri meninggal. Tapi tiba-tiba ia mengubah pikirannya. Ia merasa bahwa apapun yang dilakukannya tidak ada gunanya. Takdir tidak bisa dirubah. Kematian dan cinta adalah sesuatu yang tidak bisa dirubah. Kini ia sangat membenci dirinya sendiri. Tapi setidaknya permohonanya terkabul. Dia telah berhasil mengungkapkan perasaanya pada Tantri.
Tentang Hati Tantri
Akhir-akhir ini Rayhan selalu sibuk dengan proyeknya. Aku tidak tahu apa yang sedang dia kerjakan, tapi yang jelas dia sedang memanjakan hobinya. Aku sama sekali tidak mengerti. Ia melakukan hal yang sangat berbeda dari orang kebanyakan. Minggu lalu Rayhan mengajakku ke pantai. Sudah lama sekali aku ingin pergi kesana. Aku selalu bercerita kepadanya tentang keinginanku itu. Dan akhirnya dia mengajakku kesana juga. Tapi sejak saat itu dia jadi selalu sibuk. Bahkan menelepon untuk sekedar bercerita pun tidak sempat. Aku merindukannya.
Kemarin, Aldo, teman sekelas kami menyatakan cintanya kepadaku. Dia cowok idola di sekolah. Tampangnya memang lumayan. Tapi entah mengapa aku tidak mempunyai perasaan apa-apa kepadanya. Aku ingin meminta pendapat kepada Rayhan tentang hal itu, tetapi ia terlalu sibuk untuk mendengarkan ceritaku. Akhirnya aku terpaksa menerima Aldo, karena dia juga sangat baik kepadaku. Tapi sebenarnya ada orang lain di hatiku, orang yang sangat spesial dan telah lama kukagumi. Tapi sekali lagi, ia terlalu sibuk untuk memahami perasaanku. Tapi mungkin memang sebaiknya kami berteman saja. Jika dia tahu perasaanku, aku takut sikapnya akan berubah kepadaku dan menjauhiku. Aku tidak ingin kehilangan dia. Aku mengenalnya selama hidupku, dan aku ingin tetap bersamanya.
Rayhan, ayahnya bersahabat dengan ibuku. Dan kami saling mengenal sejak kecil. Kami bersekolah di sekolah yang sama dan entah mengapa selalu satu kelas. Ia bahkan lebih memahamiku dibanding orangtuaku sendiri. Dia selalu bisa menebak isi hatiku, dia selalu mengerti apa yang aku mau. Tapi, tidak untuk satu hal, perasaanku kepadanya, dia tidak pernah mengerti.
Suatu hari, aku memaksanya untuk menemuiku. Mungkin karena sudah terlalu bosan mendengar keluhanku, akhirnya ia menemuiku juga. Di rumah pohon yang kami buat bersama teman-teman, aku menceritakan tentang Aldo. Wajahnya terlihat lelah, jadi aku berusaha terlihat bahagia di depannya. Aku berusaha tersenyum, dan tertawa. Aku juga bercanda dan meledeknya, seperti biasa. Aku sangat pandai berakting. Tapi kelihatannya dia tidak terlalu menanggapiku, bahkan jawabannya ‘ngelantur’ entah kemana. Bahkan dia meminta ijin untuk pulang dengan alasan ada sesuatu yang harus ia kerjakan.
Siang itu, sebenarnya Aldo mengajakku makan di sebuah restoran di dekat mall, tapi tiba-tiba dia membatalkannya saat aku telah berdandan rapi dan siap berangkat. Cukup kecewa aku melihatnya, tapi aku mencoba melupakannya.
Oiya, besok adalah hari ulang tahun Rayhan. Dan dia selalu lupa hari ulang tahunnya sendrir. Aku ingat dia pernah mengatakan bahwa dia menginginkan sebuah jam di toko jam dekat mall juga, maka aku memutuskan untuk pergi membelinya. Semoga saja belum dibeli orang lain.
“Bu, aku pergi ke toko jam, mau lihat-lihat sebentar.” Barangkali ada jam tangan yang cocok untuk kuhadiahkan pada teman. Pamitku pada ibu.
“Ya sudah, hati-hati nak.” Aku mencium tangan ibu, lalu pergi. Selama di perjalanan, perasaanku tidak enak sekali. Aku merasa sesuatu yang buruk akan terjadi. Entah apa. Namun beberapa saat kemudian sepertinya aku tahu, dan benar! Coba tebak? Aku melihat Aldo. Dia sedang berjalan di depan mall. Tapi bukan itu yang kurisaukan. Ia bersama seorang wanita! Tinggi dan cantik. Pakaiannya juga bagus, aku nggak ada apa-apanya dibanding dia. Mereka terlihat serasi sekali. Aku mengikutinya hanya untuk memastikan. Mereka masuk ke dalam, dan menuju ke bagian pakaian dalam wanita. Aldo hanya menunggunya di luar. Kemudian wanita itu keluar membawa beberapa kantong belanjaan. Mereka bukan hanya terlihat mesra, tapi sangat mesra. Tidak salah lagi, aku telah dibodohi. Rasanya sakit sekali, walaupun aku tidak mencintainya.
Aku berlari menjauh, air mata menetes tanpa ku sadari. Saat itu hanya ada satu orang di otakku, Rayhan! Entah kenapa aku sangat merindukannya. Tapi aku tahu saat ini pasti dia sedang sibuk dengan pekerjaannya. Aku mencoba menenangkan diriku sendiri, aku seperti orang bodoh. Kulihat beberapa orang memperhatikanku. Beberapa kali aku mengeluarkan ponselku dari dalam tas dan mencoba menghubungi Rayhan, tapi beberapa kali juga aku mengurungkan niatku. Sampai akhirnya aku sudah tidak tahan lagi. Aku nekat meneleponnya, walaupun harus mendengar omelannya. Rayhan pun langsung mengangkatnya. Tapi Rayhan tampaknya tidak marah, bahkan dia bilang, dia mencariku. Bahkan suaranya terdengar sangat jelas, seperti ia sedang berada di sekitarku. Tiba-tiba aku melihatnya, Rayhan! Ia di seberang jalan dan menatapku. Tapi kenapa dia menangis?
“Rayhan!” aku memanggilnya dengan keras. Itu memang Rayhan. ia baru saja keluar dari toko jam di seberang jalan. Aku tidak tahu apa yang dilakukannya disana. Aku memanggilnya lagi dan melambaikan tanganku, dia tersenyum. Aku berlari menghampirinya. Tanpa berpikir apapun lagi, aku menyeberang jalan dengan tidak sabar untuk menemuinya dan menceritakan semuanya. Tentang Aldo, tentang perasaanku, semuanya. Namun tiba-tiba lampu silau menyorotiku, bunyi klakson berkali-kali membuatku terhenyak. Begitu cepat, tanpa sadar sebuah mobil pick up telah siap menyerudukan moncongnya ke arahku. Terlalu dekat, aku tidak bisa menghindar. Kudengar suara Rayhan meneriakiku, aku terpelanting. Kepalaku terbentur aspal jalan berkali-kali. Aku melihat Rayhan, dia menggenggam tanganku. Aku merasakan kepalaku basah sekali. Aku terlalu lemah untuk menyadari bahwa darah telah mengucur deras dari kepalaku.
Rayhan terus memanggil-manggil namaku, berkali-kali, dasar! padahal aku sudah mendengarnya. Dia mengucapkan sesuatu, tapi akal sehatku tak bekerja lagi. Aku merasa lemas, aku tidak bisa merasakan kakiku. Terakhir kali Rayhan mengatakan bahwa dia mencintaiku. Entah mengapa perasaanku menjadi sangat lega. Aku pun tersenyum. Aku menjadi berani saat dia di sampingku, aku tidak takut menghadapi apapun saat dia di dekatku. Dia memberiku kekuatan. Pandanganku mulai kabur, sekuat tenaga aku berusaha untuk tetap tersadar.
“Aku juga mencintaimu.” Gumamku lirih. Aku yakin dia tidak bisa mendengar kata terakhirku, tapi aku tidak sanggup mengatakan apapun lagi. Aku mencintaimu Han! Aku mencintaimu. Sangat mencintaimu. Akhirnya dia tidak pernah mengetahui perasaanku, selamanya.
Tamat
0 Response to "Rahasia Cinta Dan Waktu"
Posting Komentar